Agroindustri hingga saat ini masih menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam menggerakkan roda perekonomian bangsa Indonesia. Hal ini yang pada akhirnya memposisikan agroindustri sebagai sumber devisa negara di sektor non-migas. Peranan agroindustri tidak kalah pentingnya jika dibandingkan tunjangan energi yang harus ditanggung oleh suatu negara, sebab sisi agroindustri justru akan menunjang terbentuknya energi terbarukan yang ramah lingkungan. Artinya, agroindustri tidak pernah lepas dari sisi-sisi kehidupan bangsa indonesia sehari-harinya.
Indonesia sebagai bangsa yang berkembang, hingga kini masih terombang-ambingkan oleh berbagai dilema dan problematika, dimulai dari masalah klasik hingga masalah fundamental yang bersifat krusial. Faktor ini antara lain dan yang paling penting karena kelalaian Indonesia baik pemerintah maupun masyarakatnya dalam usaha pengoptimalisasian pertanian. Dalam hal ini, pertanian yang dimaksud tidak hanya kegiatan prapanen, namun juga kegiatan pasca panen termasuk pemasarannya. Oleh karenanya, agroindustri merupakan salah satu sistem yang difungsikan untuk menjawab permasalahan tersebut.
CAFTA (Chinese-Asian Free Trade Area) menjadi suatu tantangan tersendiri bagi Indonesia dalam membuka peluang beralihnya titel negara berkembang menjadi negara yang lebih maju. Ironisnya, hingga saat ini Indonesia dirasa masih belum siap menjawab tantangan itu dengan matang. Ketidaksiapan ini justru akan mengubah peluang tersebut menjadi ancaman tersendiri bagi bangsa Indonesia oleh jajahan produk bangsa China yang dalam kenyataannya tidak diragukan lagi oleh banyak konsumen. Sedangkan, produk Indonesia terutama produk pertanian dan agroindustrinya tidak banyak konsumen yang mempercayainya karena banyak faktor.
Sudah seharunya Indonesia merencanakan suatu langkah kongkrit dalam mempersiapkan tantangan tersebut yang diimplementasikan oleh setiap kalangan masyarakat, termasuk mahasiswa. Forum Agroindustri Indonesia (Foragrin) merupakan suatu forum/kelembagaan yang beranggotakan mahasiswa jurusan teknologi industri pertanian dalam lingkup nasional. Forum yang didirikan oleh empat universitas ini (Institut Pertanian Bogor, Universitas Trunujoyo, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Brawijaya) terkumpul dalam suatu wadah yang konsen terhadap perkembangan agroindustri di Indonesia sejak tahun 2008. Artinya, Foragrin masih merupakan organisasi muda yang menjadi estafet perjuangan dari forum-forum agroindustri yang sebelumnya sempat berdiri dan vakum hingga saat ini. Oleh karenanya, dibutuhkan suatu metode dalam memperbaiki dan merapikan barisan kader forum ini sebelum benar-benar fokus pada agroindustri.
Indonesian Agroindustrial Student Leaders Summit 2010 (IASLS 2010) merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dimaksudkan sebagai pembenahan sekaligus pencetakkan generasi yang berkarakter agroindustri dalam menjawab tantangan dunia. Muatan yang diberikan berupa simposium, diskusi, dan pelatihan ini diharapkan mampu memperkuat paradigma pertanian yang dimiliki sehingga menjadi insan agroindustrialis yang kompeten. Artinya, diberikan suatu wadah kreativitas dalam merumuskan serta memberikan solusi masalah yang ada saat ini, termasuk CAFTA. Selain itu, juga sebagai suatu langkah kongkrit dalam mempersiapkan generasi bangsa yang berwawasan agroindustri sehingga siap bersaing di masa depan.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari diadakannya kegiatan IASLS 2010 ini, antara lain:
1. Mencetak generasi Forum Agroindustri Indonesia (Foragrin) yang peka dan tanggap akan perkembangan agroindustri, khususnya di Indonesia.
2. Memperbaiki dan merapikan keadaan struktural Forum Agroindustri Indonesia (Foragrin), termasuk Sumberdaya Manusianya.
3. Meningkatkan jiwa kepemimpinan anggota Forum Agroindustri Indonesia (Foragrin) yang berkarakter dan berwawasan global.
4. Merangsang kreativitas anggota Forum Agroindustri Indonesia (Foragrin) melalui konsep technopreneurship.
Sabtu, 12 Juni 2010
CAFTA Ancaman Besar untuk Indonesia
Senin, 01 Februari 2010 04:28
Boro-boro masuk Cina, produk kita justru terancam ditinggal rakyatnya sendiri. Akibatnya, terjadilah deindustrialisasi dan meningkatkan pengangguran. Inilah dampak diterapkannya Pasar Bebas ASEAN–Cina per 1 Januari 2010.
Oleh Dwi Hardianto
ASEAN–China Free Trade Agreement (AFTA–Cina) alias Pasar Bebas Asia Tenggara–Cina, mulai berlaku per 1 Januari 2010. Tapi di pusat perdagangan tekstil dan garmen Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat serta Mangga Dua, Jakarta Utara, batik asal Cina sudah merajai pasar sejak hampir dua tahun lalu. Bahkan, di Pasar Johar Semarang, Pasar Klewer Solo, dan Pasar Turi Surabaya yang merupakan sentra batik di Pulau Jawa, juga sudah diserbu batik made in negeri Tirai Bambu ini.
Membanjirnya batik cetakan asal Cina ini dikhawatirkan mengancam industri batik nasional, khususnya industri kecil dan menengah. Pasalnya, harga yang ditawarkan produk Cina jauh lebih murah dibanding batik lokal. "Jujur kami sangat khawatir dengan membanjirnya batik Cina di pasar tradisional yang selama ini menjadi basis perdagangan batik lokal. Jika tidak dikendalikan, produksi batik Pekalongan, Solo, dan daerah lain bisa mati," ujar Elawati, Pengurus Paguyuban Kampoeng Batik Kauman Pekalongan.
Menurutnya, transaksi penjualan batik Cina saat ini rata-rata mencapai Rp 300–Rp 500 juta per hari. Sedangkan penjualan batik Pekalongan rata-rata di bawah Rp 150 juta per hari. “Mereka memproduksi batik cetak dalam skala besar dan cepat untuk dipasarkan ke Indonesia dengan harga murah. Akibatnya, produk lokal pun kalah bersaing,” tambahnya.
Di Pasar Tanah Abang, Mangga Dua, Pasar Johar, Pasar Klewer, dan Pasar Turi, batik asal Cina membanjiri di tiap kios penjual busana. Umumnya, batik ini bermotif bunga dan warnanya sangat mencolok. "Batik ini mulai tren sejak Agustus 2008 lalu," kata Evi (20), pegawai sebuah toko busana di Pasar Johar, Ahad (27/12).
Menurutnya, gaun batik perempuan yang umumnya bermerk “Orlena” dan “Nie Wen ini dijual Rp 25.000–Rp 50.000 per potong. Sedangkan produk lokal mencapai Rp 45.000–Rp 85.000 per potong.
Ayu (22), penjual batik di Pasar Klewer Kota Solo mengaku mendatangkan batik asal Cina dari Pasar Tanah Abang sejak Juli 2008. Ia juga menyetop suplayer batik lokal asal Pekalongan dan Yogyakarta. Sedangkan batik Solo ia kurangi kuantitasnya. “Soalnya lebih laku batik yang dikirim dari Tanah Abang,” katanya beralasan.
Ketua Paguyuban Pecinta Batik Indonesia “Bokor Kencono”, Diah Wijaya Dewi menegaskan, produk tekstil bermotif batik asal Cina ini sebenarnya bukan batik. Ini adalah produk yang meniru tradisi Indonesia, karenanya pemerintah harus membatasi peredaran produk ini. Jika tidak, pasti akan mematikan pengusaha batik cap (cetak) yang umumnya pengrajin kecil. “Contoh, beberapa pengrajin batik cap di Pekalongan dan Yogyakarta produknya sudah ditolak masuk Pasar Johar dan Pasar Klewer, karena pedagang sudah memasok batik Cina,” ujarnya.
Mendapat Diah diamini pakar sejarah dan pengamat batik dari Jurusan Sejarah Universitas Diponegoro, Dewi Yuliati. Menurutnya, tekstil bermotif batik asal Cina ini bukan batik seperti yang dikembangkan di Indonesia. Itu adalah produk tekstil bermotif batik pesisir yang memiliki warna mencolok. Motif batik pesisir memang campuran antara budaya pesisir utara Jawa dengan Cina.
Pembuatan batik dalam tradisi Indonesia, lanjut Yuli, dilakukan dari proses pelukisan motif, hingga pencelupan yang disebut batik tulis. Sedangkan Cina tidak memiliki budaya membatik seperti ini. Mereka mengembangkan cetak (printing), sehingga bisa memproduksi dalam skala besar dan harganya pun lebih murah. Karenanya, Yuli mengingatkan agar perajin batik Indonesia mematenkan motif yang dibuatnya, dan pemerintah juga harus melindungi kerajinan batik agar tidak dibajak pengusaha asing.
Produk Ilegal
Ternyata, murahnya harga produk tekstil dan garmen asal Cina bukan semata-mata karena keunggulan industri mereka. Tapi juga karena praktik ilegal dalam mengimpor produk itu ke Indonesia. Ini ditegaskan oleh Ketua Asosiasi Pedagang Grosir DKI Jakarta Heris MM. Menurutnya, tekstil dan produk garmen selundupan menguasai sejumlah pusat grosir di Jakarta, di antaranya Tanah Abang dan Mangga Dua. “Ini berlangsung sejak tiga tahun terakhir tanpa penanganan yang jelas,” tandasnya.
Heris mencontohkan, di Pasar Tanah Abang misalnya, saat ini memperdagangkan sekitar 75%-80% tekstil dan garmen impor. Dari jumlah itu, sekitar 20%-30% ditengarainya masuk secara ilegal. Demikian juga dengan pusat perdagangan Mangga Dua. Di pusat grosir ini Heris memperkirakan sekitar 40% garmen dan 60% tekstil merupakan barang selundupan. “Barang-barang ilegal ini masuk secara borongan melalui bandara dan pelabuhan,” ujarnya.
Modus yang digunakan, lanjut Heris, produk impor itu biasanya masuk melalui bandara hanya membayar bea masuk (BM) Rp 70.000 per kilogram, tanpa membayar PPN, PPh impor dan lain. Sedangkan produk yang masuk melalui pelabuhan, biasanya dibongkar di tengah laut kemudian dibawa dengan kapal-kapal kecil ke berbagai kota di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Dumai, Jambi, dan Pangkal Pinang. “Umumnya, tekstil dan garmen ilegal ini berasal dari Cina, Korea, India, dan Thailand,” katanya.
Heris juga meminta pemerintah mengawasi ketat kawasan berikat, seperti Kawasam Berikat Nusantara (KBN) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) seperti Bintan. Pasalnya, bocornya tekstil dan garmen ilegal di tengarai juga berasal dari tempat ini. “Misalnya, industri di kawasan berikat mengimpor tekstil 100 ribu meter untuk bahan baku garmen yang akan diekspor kembali, tapi yang digunakan hanya 20 ribu meter, sedangkan sisanya merembes ke dalam negeri,” ujarnya. Karenanya, ia meminta pemerintah serius menangani penyelundupan agar industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional tidak mati.
Ancaman AFTA–Cina
Dalam carut–marut industri nasional inilah, Indonesia “Percaya Diri” menyongsong pemberlakuan ASEAN–China Free Trade Agreement (AFTA–Cina) alias Pasar Bebas Asia Tenggara–Cina, per 1 Januari 2010. Lantas, apa yang akan terjadi dengan dunia industri, khususnya industri kecil di tanah air? Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mengingatkan, sejumlah kawasan industri terancam gulung tikar dengan pemberlakuan AFTA–Cina ini. “Cina sudah mempersiapkan sejak 10 tahun lalu, sedang kita cuma dalam hitungan bulan,” ujar Ketua Umum Badan Pengurus Pusat HIPMI Erwin Aksa dalam siaran pers, Ahad (20/12/09).
Pengusaha yang baru kembali dari Cina ini mengatakan, matangnya persiapan Cina terlihat dari murahnya harga produk dan besarnya kapasitas produksi mereka sehingga membanjiri negara lain termasuk Indonesia, sejak dua tahun lalu. “Pendek kata mereka tinggal genjot produksi,” ujarnya. Sedangkan Indonesia morat-marit menghadapi serbuan produk Cina. “Boro-boro bisa masuk Cina, produk kita terancam ditinggal rakyatnya sendiri,” katanya mengingatkan.
Karenanya, menurut Aksa, perdagangan bebas ini mengancam industri kecil menengah dan kawasan ekonomi khusus. “Kawasan industri di Batam, Bintan, Jakarta, dan Surabaya terancam bubar,” tandasnya. Sementara itu, Ketua Bidang Perdagangan HIPMI Harry Warganegara pasar bebas ini akan menyebabkan terjadinya deindustrialisasi (kemunduran industri) di Indonesia. “Siap-siap kita akan berubah menjadi negara trader (pedagang) bukan negara industri,” katanya.
Bagi ekonom, perdagangan bebas ASEAN-Cina selain membuat banyak industri nasional gulung tikar karena kalah bersaing, juga akan menyebabkan melonjak jumlah pengangguran. Kepala Pusat Studi Asia Pasifik UGM Sri Adiningsih menilai, berdasarkan penelitian yang lakukannya, pengusaha Indonesia yang tak mampu bersaing dengan Cina akan gulung tikar minimal mengurangi kapasitas produksinya. “Dalam neraca perdagangan Indonesia–Cina, tahun lalu saja Indonesia sudah mencatat defisit US$ 4 miliar. Ini yang terbesar di sektor nonmigas," tegasnya.
Ekonom UI, Lana Soelistianingsih, juga berpendapat sama. Menurutnya, dalam jangka pendek perdagangan bebas ini akan membuat angka pengangguran membengkak ke level di atas 9,5%. Pasalnya, sekitar 700 jenis produk yang diproduksi di dalam negeri diprediksi akan "hilang" karena kalah bersaing dengan produk Cina.
Ini semua, menurut Lana, karena perdagangan bebas akan memperburuk sektor manufaktur di Indonesia. Celakanya, baru beberapa pekan ini tujuh instansi mulai menghitung kemungkinan daya tahan industri manufaktur kita. Padahal, sudah jelas, dalam jangka pendek akan membuat perusahaan yang tidak efisien bangkrut. Selain itu, akibat barang impor lebih murah, volume impor barang konsumsi pun naik, sehingga menghabiskan devisa negara dan membuat nilai tukar rupiah menjadi melemah.
Selanjutnya, lanjut Lana, perusahaan juga akan menahan biaya produksi melalui penghematan penggunaan tenaga kerja tetap. Sehingga job security tenaga kerja menjadi rapuh dan angka pengangguran meningkat. Padahal, industri merupakan sektor kedua terbesar setelah pertanian dalam menyerap tenaga kerja. “Situasi ketenagakerjaan ini akan menjadi penyakit kronis yang merapuhkan fundamental ekonomi. Indonesia juga akan mengalami neto negatif yang tidak hanya merugikan industri dan ketenagakerjaan, tapi juga penerimaan negara dari pajak," jelasnya.
Karenanya, Sri Adiningsih menyarankan, agar pemerintah melakukan negosiasi ulang kesepakatan ini, terutama untuk sektor yang belum siap. Di sisi lain, pemerintah juga harus menyiapkan industri domestik agar lebih kompetitif dengan produk Cina dengan memberikan kemudahan dalam bentuk pendanaan dan langkah strategis lainnya. “Jika tidak, boro-boro bisa meluaskan pasar ke Cina atau negara tetangga lainnya, menjadi tuan rumah di negeri sendiri saja belem tentu bisa,” tandasnya.
Saran para ekonom seyogyanya segera dilaksanakan. Pasalnya, Imprtir produk tekstil Cina saja sudah ancang-ancang mengincar Pasar Tanah Abang dan Pasar Turi menjadi basis distribusí produk mereka pasca diterapkannya AFTA–Cina ini. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudradjat mengatakan, pada tahap awal para importir akan membeli satu lantai di Tanah Abang dan Pasar Turi untuk memasarkan produk-produk mereka ke seluruh Indonesia.
Selain itu, tambah Ade, produsen dan importir tekstil Cina juga akan memberikan dukungan pembiayaan bagi pedagang yang menjual produk mereka di Tanah Abang dan Pasar Turi. Selanjutnya, mereka akan bertindak sebagai importir, grosir, dan distributor. “Jadi, produk tekstil yang lebih dulu dihantam, setelah itu garmen," ujarnya. Pertanyaannya, apakah AFTA–Cina akan mengubah Indonesia dari negara produsen menjadi negara trader (pedagang)? Atau jauh lebih buruk lagi, kita hanya menjadi bangsa konsumen yang tak mampu memproduksi sendiri? Waktu yang akan membuktikannya.
Sumber:www.sabili.co.id
Bagaimana? Apakah CAFTA Ancaman atau tantangan? Sudah seharusnya kita menyikapi dengan lebih bijak.
Boro-boro masuk Cina, produk kita justru terancam ditinggal rakyatnya sendiri. Akibatnya, terjadilah deindustrialisasi dan meningkatkan pengangguran. Inilah dampak diterapkannya Pasar Bebas ASEAN–Cina per 1 Januari 2010.
Oleh Dwi Hardianto
ASEAN–China Free Trade Agreement (AFTA–Cina) alias Pasar Bebas Asia Tenggara–Cina, mulai berlaku per 1 Januari 2010. Tapi di pusat perdagangan tekstil dan garmen Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat serta Mangga Dua, Jakarta Utara, batik asal Cina sudah merajai pasar sejak hampir dua tahun lalu. Bahkan, di Pasar Johar Semarang, Pasar Klewer Solo, dan Pasar Turi Surabaya yang merupakan sentra batik di Pulau Jawa, juga sudah diserbu batik made in negeri Tirai Bambu ini.
Membanjirnya batik cetakan asal Cina ini dikhawatirkan mengancam industri batik nasional, khususnya industri kecil dan menengah. Pasalnya, harga yang ditawarkan produk Cina jauh lebih murah dibanding batik lokal. "Jujur kami sangat khawatir dengan membanjirnya batik Cina di pasar tradisional yang selama ini menjadi basis perdagangan batik lokal. Jika tidak dikendalikan, produksi batik Pekalongan, Solo, dan daerah lain bisa mati," ujar Elawati, Pengurus Paguyuban Kampoeng Batik Kauman Pekalongan.
Menurutnya, transaksi penjualan batik Cina saat ini rata-rata mencapai Rp 300–Rp 500 juta per hari. Sedangkan penjualan batik Pekalongan rata-rata di bawah Rp 150 juta per hari. “Mereka memproduksi batik cetak dalam skala besar dan cepat untuk dipasarkan ke Indonesia dengan harga murah. Akibatnya, produk lokal pun kalah bersaing,” tambahnya.
Di Pasar Tanah Abang, Mangga Dua, Pasar Johar, Pasar Klewer, dan Pasar Turi, batik asal Cina membanjiri di tiap kios penjual busana. Umumnya, batik ini bermotif bunga dan warnanya sangat mencolok. "Batik ini mulai tren sejak Agustus 2008 lalu," kata Evi (20), pegawai sebuah toko busana di Pasar Johar, Ahad (27/12).
Menurutnya, gaun batik perempuan yang umumnya bermerk “Orlena” dan “Nie Wen ini dijual Rp 25.000–Rp 50.000 per potong. Sedangkan produk lokal mencapai Rp 45.000–Rp 85.000 per potong.
Ayu (22), penjual batik di Pasar Klewer Kota Solo mengaku mendatangkan batik asal Cina dari Pasar Tanah Abang sejak Juli 2008. Ia juga menyetop suplayer batik lokal asal Pekalongan dan Yogyakarta. Sedangkan batik Solo ia kurangi kuantitasnya. “Soalnya lebih laku batik yang dikirim dari Tanah Abang,” katanya beralasan.
Ketua Paguyuban Pecinta Batik Indonesia “Bokor Kencono”, Diah Wijaya Dewi menegaskan, produk tekstil bermotif batik asal Cina ini sebenarnya bukan batik. Ini adalah produk yang meniru tradisi Indonesia, karenanya pemerintah harus membatasi peredaran produk ini. Jika tidak, pasti akan mematikan pengusaha batik cap (cetak) yang umumnya pengrajin kecil. “Contoh, beberapa pengrajin batik cap di Pekalongan dan Yogyakarta produknya sudah ditolak masuk Pasar Johar dan Pasar Klewer, karena pedagang sudah memasok batik Cina,” ujarnya.
Mendapat Diah diamini pakar sejarah dan pengamat batik dari Jurusan Sejarah Universitas Diponegoro, Dewi Yuliati. Menurutnya, tekstil bermotif batik asal Cina ini bukan batik seperti yang dikembangkan di Indonesia. Itu adalah produk tekstil bermotif batik pesisir yang memiliki warna mencolok. Motif batik pesisir memang campuran antara budaya pesisir utara Jawa dengan Cina.
Pembuatan batik dalam tradisi Indonesia, lanjut Yuli, dilakukan dari proses pelukisan motif, hingga pencelupan yang disebut batik tulis. Sedangkan Cina tidak memiliki budaya membatik seperti ini. Mereka mengembangkan cetak (printing), sehingga bisa memproduksi dalam skala besar dan harganya pun lebih murah. Karenanya, Yuli mengingatkan agar perajin batik Indonesia mematenkan motif yang dibuatnya, dan pemerintah juga harus melindungi kerajinan batik agar tidak dibajak pengusaha asing.
Produk Ilegal
Ternyata, murahnya harga produk tekstil dan garmen asal Cina bukan semata-mata karena keunggulan industri mereka. Tapi juga karena praktik ilegal dalam mengimpor produk itu ke Indonesia. Ini ditegaskan oleh Ketua Asosiasi Pedagang Grosir DKI Jakarta Heris MM. Menurutnya, tekstil dan produk garmen selundupan menguasai sejumlah pusat grosir di Jakarta, di antaranya Tanah Abang dan Mangga Dua. “Ini berlangsung sejak tiga tahun terakhir tanpa penanganan yang jelas,” tandasnya.
Heris mencontohkan, di Pasar Tanah Abang misalnya, saat ini memperdagangkan sekitar 75%-80% tekstil dan garmen impor. Dari jumlah itu, sekitar 20%-30% ditengarainya masuk secara ilegal. Demikian juga dengan pusat perdagangan Mangga Dua. Di pusat grosir ini Heris memperkirakan sekitar 40% garmen dan 60% tekstil merupakan barang selundupan. “Barang-barang ilegal ini masuk secara borongan melalui bandara dan pelabuhan,” ujarnya.
Modus yang digunakan, lanjut Heris, produk impor itu biasanya masuk melalui bandara hanya membayar bea masuk (BM) Rp 70.000 per kilogram, tanpa membayar PPN, PPh impor dan lain. Sedangkan produk yang masuk melalui pelabuhan, biasanya dibongkar di tengah laut kemudian dibawa dengan kapal-kapal kecil ke berbagai kota di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Dumai, Jambi, dan Pangkal Pinang. “Umumnya, tekstil dan garmen ilegal ini berasal dari Cina, Korea, India, dan Thailand,” katanya.
Heris juga meminta pemerintah mengawasi ketat kawasan berikat, seperti Kawasam Berikat Nusantara (KBN) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) seperti Bintan. Pasalnya, bocornya tekstil dan garmen ilegal di tengarai juga berasal dari tempat ini. “Misalnya, industri di kawasan berikat mengimpor tekstil 100 ribu meter untuk bahan baku garmen yang akan diekspor kembali, tapi yang digunakan hanya 20 ribu meter, sedangkan sisanya merembes ke dalam negeri,” ujarnya. Karenanya, ia meminta pemerintah serius menangani penyelundupan agar industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional tidak mati.
Ancaman AFTA–Cina
Dalam carut–marut industri nasional inilah, Indonesia “Percaya Diri” menyongsong pemberlakuan ASEAN–China Free Trade Agreement (AFTA–Cina) alias Pasar Bebas Asia Tenggara–Cina, per 1 Januari 2010. Lantas, apa yang akan terjadi dengan dunia industri, khususnya industri kecil di tanah air? Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mengingatkan, sejumlah kawasan industri terancam gulung tikar dengan pemberlakuan AFTA–Cina ini. “Cina sudah mempersiapkan sejak 10 tahun lalu, sedang kita cuma dalam hitungan bulan,” ujar Ketua Umum Badan Pengurus Pusat HIPMI Erwin Aksa dalam siaran pers, Ahad (20/12/09).
Pengusaha yang baru kembali dari Cina ini mengatakan, matangnya persiapan Cina terlihat dari murahnya harga produk dan besarnya kapasitas produksi mereka sehingga membanjiri negara lain termasuk Indonesia, sejak dua tahun lalu. “Pendek kata mereka tinggal genjot produksi,” ujarnya. Sedangkan Indonesia morat-marit menghadapi serbuan produk Cina. “Boro-boro bisa masuk Cina, produk kita terancam ditinggal rakyatnya sendiri,” katanya mengingatkan.
Karenanya, menurut Aksa, perdagangan bebas ini mengancam industri kecil menengah dan kawasan ekonomi khusus. “Kawasan industri di Batam, Bintan, Jakarta, dan Surabaya terancam bubar,” tandasnya. Sementara itu, Ketua Bidang Perdagangan HIPMI Harry Warganegara pasar bebas ini akan menyebabkan terjadinya deindustrialisasi (kemunduran industri) di Indonesia. “Siap-siap kita akan berubah menjadi negara trader (pedagang) bukan negara industri,” katanya.
Bagi ekonom, perdagangan bebas ASEAN-Cina selain membuat banyak industri nasional gulung tikar karena kalah bersaing, juga akan menyebabkan melonjak jumlah pengangguran. Kepala Pusat Studi Asia Pasifik UGM Sri Adiningsih menilai, berdasarkan penelitian yang lakukannya, pengusaha Indonesia yang tak mampu bersaing dengan Cina akan gulung tikar minimal mengurangi kapasitas produksinya. “Dalam neraca perdagangan Indonesia–Cina, tahun lalu saja Indonesia sudah mencatat defisit US$ 4 miliar. Ini yang terbesar di sektor nonmigas," tegasnya.
Ekonom UI, Lana Soelistianingsih, juga berpendapat sama. Menurutnya, dalam jangka pendek perdagangan bebas ini akan membuat angka pengangguran membengkak ke level di atas 9,5%. Pasalnya, sekitar 700 jenis produk yang diproduksi di dalam negeri diprediksi akan "hilang" karena kalah bersaing dengan produk Cina.
Ini semua, menurut Lana, karena perdagangan bebas akan memperburuk sektor manufaktur di Indonesia. Celakanya, baru beberapa pekan ini tujuh instansi mulai menghitung kemungkinan daya tahan industri manufaktur kita. Padahal, sudah jelas, dalam jangka pendek akan membuat perusahaan yang tidak efisien bangkrut. Selain itu, akibat barang impor lebih murah, volume impor barang konsumsi pun naik, sehingga menghabiskan devisa negara dan membuat nilai tukar rupiah menjadi melemah.
Selanjutnya, lanjut Lana, perusahaan juga akan menahan biaya produksi melalui penghematan penggunaan tenaga kerja tetap. Sehingga job security tenaga kerja menjadi rapuh dan angka pengangguran meningkat. Padahal, industri merupakan sektor kedua terbesar setelah pertanian dalam menyerap tenaga kerja. “Situasi ketenagakerjaan ini akan menjadi penyakit kronis yang merapuhkan fundamental ekonomi. Indonesia juga akan mengalami neto negatif yang tidak hanya merugikan industri dan ketenagakerjaan, tapi juga penerimaan negara dari pajak," jelasnya.
Karenanya, Sri Adiningsih menyarankan, agar pemerintah melakukan negosiasi ulang kesepakatan ini, terutama untuk sektor yang belum siap. Di sisi lain, pemerintah juga harus menyiapkan industri domestik agar lebih kompetitif dengan produk Cina dengan memberikan kemudahan dalam bentuk pendanaan dan langkah strategis lainnya. “Jika tidak, boro-boro bisa meluaskan pasar ke Cina atau negara tetangga lainnya, menjadi tuan rumah di negeri sendiri saja belem tentu bisa,” tandasnya.
Saran para ekonom seyogyanya segera dilaksanakan. Pasalnya, Imprtir produk tekstil Cina saja sudah ancang-ancang mengincar Pasar Tanah Abang dan Pasar Turi menjadi basis distribusí produk mereka pasca diterapkannya AFTA–Cina ini. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudradjat mengatakan, pada tahap awal para importir akan membeli satu lantai di Tanah Abang dan Pasar Turi untuk memasarkan produk-produk mereka ke seluruh Indonesia.
Selain itu, tambah Ade, produsen dan importir tekstil Cina juga akan memberikan dukungan pembiayaan bagi pedagang yang menjual produk mereka di Tanah Abang dan Pasar Turi. Selanjutnya, mereka akan bertindak sebagai importir, grosir, dan distributor. “Jadi, produk tekstil yang lebih dulu dihantam, setelah itu garmen," ujarnya. Pertanyaannya, apakah AFTA–Cina akan mengubah Indonesia dari negara produsen menjadi negara trader (pedagang)? Atau jauh lebih buruk lagi, kita hanya menjadi bangsa konsumen yang tak mampu memproduksi sendiri? Waktu yang akan membuktikannya.
Sumber:www.sabili.co.id
Bagaimana? Apakah CAFTA Ancaman atau tantangan? Sudah seharusnya kita menyikapi dengan lebih bijak.
Langganan:
Postingan (Atom)